Makalah Netralitas Ilmu

 

I Pendahuluan

 

1.1       Latar Belakang

Di zaman globalisasi ini yang pada hakikatnya hanya  ditopang oleh kemajuan informasi dan teknologi tentu hampir semua orang pasti memiliki alat komunikasi yang bernama handphone. Kalaupun tidak memiliki alat ini sukurangnya, mereka mengenal alat komunikasi yang tergolong canggih ini.

Dengan mengusung berbagai fitur kecanggihan dan bentuknya yang lebih kecil, paraktis kehadiran benda ini mulai menggesar alat-alat yang serupa fungsi semisal surat, telegram ataupun telepon rumah.

Perkembangan serta penyebarannya yang begitu luas menjadikan handphone tidak lagi hanya dimiliki orang-orang perkotaan yang barkantong tebal, tetapi juga sudah merambah ke pelosok desa. Demikian pula dengan harganya yang relatif terjangkau dari kalangan terbawah sekalipun menjadikan handphone sebagai salah salu alat wajib untuk berkomunikasi tiap keluarga.

Beberapa perkembangan yang menarik dari alat komunikasi yang satu ini adalah terletak pada fungsi dan manfaatnya bagi kehidupan dan kontribusinya bagi perkembangan peradapan. Handphone pada awalnya diciptakan guna mempermudah komunikasi antar individu yang memiliki keterbatasan waktu dan didesain guna menunjang mobilitas tiap indivudu  yang sangat tinggi.

Dengan bentuknya yang kecil dan mungil hingga memudahkan orang membawanya ke mana saja. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya. Perebutan pangsa pasar oleh produsen handphone menjadikan handphone ini ditawarkan dengan aneka harga dan rupa. Masing-masing produsen mengklaim bahwa produk handphonenya adalah produk handphone yang tercanggih dan termurah.

Alhasil, tidak mengherankan jika didapati  nyaris setiap orang tiap anggota keluarga memiliki handphone. Meski kepelikan handphone tidak lagi melihat kegunaan dan manfaatnya bagi mereka. Kadang hanya ingin memuaskan rasa gengsi belaka kalau.

Begitulah sejarah singkat tentang awal keberadaan handphone di Indonesia. Dan sebagai alat komunikasi yang canggih akibat hasi ilmu pengetahuan yang terus berkembang keberadaan handphone juga membawa dampak yang negatif.

Ambil contoh terkini, bagaimana bisnis pelacuran yang dikendalikan (mucikari) oleh seorang perempuan bernama Yunita alias keyko. Bisnis tersebut cukup menghebohkan. Di samping betapa menariknya apa yang dilakukan seorang wanita bernama Keyko. Melalui Blackberry-nya ia mengatur segala jenis transaksi esek-esek yang terhubung dengan mucikari di sejumlah kota yang sanggup menyediakan jasa PSK sesuai pesanan dengan tarif yang tergolong mahal.

Apa yang dilakukan Keyko dengan bisnis esek-eseknya melalui jaringan internet sesungguhnya membuka wacana baru bagi kita, bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk sesuatu yang merugikan peradaban.

Artinya, saat perkembangan peradaban yang terus tumbuh dan berkembang sedemikian pesat, pada nyatanya juga tak luput telah menghadirkan sebuah kerumitan dan  kompleksitas kehidupan yang beraneka ragam pula.

Perkembangan zaman yang kian cepat itu telah melahirkan bias kehidupan masyarakat yang begitu dinamis. Pada hierarki inilah sesungguhnya sebuah eksistensi sebuah ilmu pengetahuan patut dipertanyakan.

Memang pada dasarnya ilmu pengetahuan itu mempunyai manfaat yang amat besar bagi manusia karena dengan berpengetahuan manusia akan menjadi lebih mengerti. Pengetahuan yang diperoleh sedemikian itu pada umumnya telah memberikan jaminan akan kepastian yang lebih besar.

Dalam proses perjalanannya, perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu berbanding lurus dengan perkembangan zaman. Artinya, semakin berkembang zaman akan semakin berkembang pula ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, pada kenyataan yang lain, perkembangan ilmu pengetahuan pada era modern ini justru menjadi sebuah kegalauan tersendiri. Apakah perkembangan ilmu pengetahuan yang tercipta pada hakikatnya akan membawa kepada peradaban dunia yang lebih sejahtera dan damai atau dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu justru menjadi sesuatu yang bisa  merusak peradaban yang telah terbangun?

Dalam kajian ilmu filsafat bunyi pertanyaan tadi akan menjadi, “Netralkah sebuah Ilmu Pengetahuan itu?”

Berpijak pada fenomena Keyko yang memanfaatkan kemajuan teknogi dalam menjalankan bisnis mesumnya atau jika kita ingat pada peristiwa hancurnya menara kembar World Trade Center yang ambruk mengerikan. Kita pasti akan memvonis betapa berbahayanya kemajuan pengetahuan. Setidaknya tercatat pada peristiwa WTC itu diperkirakan 6000 jiwa melayang dan peristiwa ini dinilai lebih buruk dibanding penyerangan yang dilakukan oleh Jepang dalam peristiwa Pearl Harbour.

Berkaca pula pada kasus dan peristiwa di atas kiranya tak dapat dipungkiri bahwa ada penyalahgunaan teknologi tinggi yang memakan begitu banyak korban. Hingga hampir bisa di maknai, perkembangan teknologi sebagai hasil Ilmu Pengetahuan yang makin mengarah pada kesempurnaan dan hasil yang maksimal ternyata cenderung sangat membahayakan bagi kehidupan.

Keyko, dengan sebuah alat komunikasi mungil nan canggih telah berhasil mengelola ratusan PSK dengan luas area hampir se-nusantara Indonesia. Dari awal transaksi, fasilitas yang disediakan, konektivitas antar pengguna dan pelayan hingga pembiayaan. Semua proses bisnis tersebut cukup diatur dengan memencet keyped.

Pada sisi yang berbeda, dengan alat komunikasi yang serupa, masyarakat bisa menikmati kecepatan informasi dan perkembangan baru pada wilayah dan tempat yang berbeda.

Dari Fenomena Keyko itulah, setidaknya memberikan gambaran bagi kita bahwa sain itu sesungguhnya bersifat netral. Artinya, sain tidak pernah memihak pada kebaikan dan tidak juga memihak pada kejahatan. Dengan demikian, istilah netral dalam sain sering juga disebut dengan sain bebas nilai (value free).

Pada tataran ini, bila sain itu  kita anggap netral sisi keuntungan yang bisa diambil adalah cepatnya perkembangan dalam dimensi ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi seorang peneliti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang baru.

Prof. Dr. H. Wahyu, MS dalam Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian menuliskan, dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Apakah pengetahuan itu digunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan tidak akan mau tunduk kepada kaidah-kaidah yang lain selain dipegang sendiri dengan tujuan menjaga mutu dan integritas.

Bandingkan dengan lawan dari netral yaitu sain terikat, yakni sain yang terikat pada nilai. Bagi mereka yang berpandangan sain itu terikat nilai maka dalam penelitiannya terhadap ilmu pengetahuan akan dibatasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam peradapan. Di samping itu juga mereka mesti selektif terhadap objek penelitian sekaligus menggunakan hasil penelitian.

Menurut Darwin, tahap tertinggi dalam kebudayaan manusia adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.

Aksi keyko dalam menjalankan bisnis terlarangnya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan seperti ponsel sebenarnya juga membawa pesan kepada kita tentang manfaat teknologi.

 

1.2  Rumusan Masalah

 

Masalah yang akan diangkat dalam makalah ini adalah

  1. Bagaimana pandangan ilmu filsafat terhadap sains?
  2. Bagaimana kenetralan sebuah sains dalam perkembangan peradaban?
  3. Bagaimana sikap para ilmuwan dalam hubungannya dengan temuan dan peradaban?

1.3    Tujuan

 

1        Untuk mengetahui bagaimana pandangan ilmu filsafat terhadap sains

2        Untuk mengetahui bagaimana kenetralan sebuah sains dalam perkembangan peradaban

3        Untuk mengetahui bagaimana sikap para ilmuwan dalam hubungan temuan mereka dan peradaban?

 

.

1.4    Manfaat

 

  1. Mengetahui bagaimana pandangan ilmu filsafat terhadap sains
  2. Mengetahui bagaimana kenetralan sebuah sains dalam perkembangan peradaban
  3. Mengetahui bagaimana sikap para ilmuwan dalam hubungan temuan mereka dan peradaban?

II Pembahasan

 

Filsafat ilmu upakan merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah) Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai cirri-ciri tertentu.

Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:

Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antar objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

         Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri/ apa kreterianya? Cara/teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan ilmu pengetahuan yang berupa ilmu?

         Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaiadah moral moral. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma – norma moral/professional?

Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan ontologism ; kelompok yang kedua adalah epistemologis ; dan kelompok ketiga adalh aksiologis.

Ilmu dan Moral

 

Penalaran otak orang itu luar biasa, demekian kesimpulan ilmuawan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah…1) Pernyataan yang lugu ini, namun benar dan kena, sungguh menggelitik nurani kita.

Benrakahkah bahwa makin credas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran. Makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya; makin cerdas makin pandai kita berdusta.

Menyimak masalah ini, ada baiknya kita  memperhatikan imbauan Profesor Ace Partadiredja dalam pidato pngukuhan Beliau selaku Guru Besar Ilmu ekonomi UGM.

“Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradapan manusia sangat berutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya apakh ilmu selulu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa malapetaka dan kesengsaraan.

Jauh sebelum tragedy WTC dan kasus yang menewaskan  ratusan jiwa, sejak semula dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesame manusia dan menguasai manusia.

Pada pihak yang lain, perkembangan ilmu sering melupakan factor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Namun justru sebaliknya, manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. 2)

            Teknologi tidak lagi berfungsi sebagi sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri.

Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi yang merampas kebahgiaan dan kemanusiaannya.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia manusia itu sendiri. 3) Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagiamana  adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya : Untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuawan berpaling kepada hakikat moral.

Sebenarnya sejak saat pertumbuhan ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda.Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan dalam ajaran agama,  maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral.

Pertentangan ilmu dan moral yang diwakili oleh ajaran agama pada waktu itu di akhiri diputuskan oleh pengadilan agama waktu itu bahwa Galileo harus mencabut pernyataannya.

Pengadilan inkuisisi Galileo ini selam kurang lebih du setengah abad memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikannya nilai-nilainya sebagi penafsiran metafisik keilmuan.

Dalam kurun waktu ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan Ilmu yang Bebas Nilai.

Ilmu yang Bebas Nilai  

 

Wacana masalah netralisasi ilmu memang masih dalam perdebatan di kalangan masyarakat. Tetapi pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai Netral ( nol ), dengan ilmu itu netral maka perkembangan ilmu pengetahuan bisa berkembang. Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau itu sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya.

Sedangkan netral itu sendiri ada berbagai pandangan yang pertama dalam pandangan Ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Yang mempunyai ruang lingkup tentang baik buruknya ilmu yang telah ada.

Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkanya apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah.

Ketika seorang ahli jantung ingin meneliti tentang jantung manusia. Ada suatu kendala apabila Dokter ini meneliti jantung selain jantung manusia seperti jantung simpanse misalnya, tentu hasilnya berbeda apabila dokter itu menggunakan jantung manusia itu. Tetapi masalahnya ada beberapa yang tidak menyetujui hal ini, dikarenakan telah keluar dari rasa kemanusiaan.

Padahal tujuan awal agar data yang diperoleh valid dan lengkap, tetapi mereka salah memandang hal tersebut.

Sedangkan yang terakhir adalah netarisasi dalam pandangan Aksiologi. ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri. Seperti suatu hal yang sangat disesalkan oleh Albert Einsten, karena penemuannya tentang nuklir. Ternyata manusia sebagai pengkonsumsi dari hasil temuan ilmu itu telah menyimpang atau menyalahi aturan yang ada.

Padahal Einsten meneliti nuklir bukan karena dia ingin menggunakannya sebagai bom / perusak, tetapi sebaliknya yaitu untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tetapi manusia sendirilah yang telah salah menggunakan hasil pikiran Einstein itu.

Fenomena Kekinian atas Netralitas Ilmu

 

Bahkan contoh temudah yang bisa kita ambil adalah seperti yang saya uraikan pada latar di atas, yakni fenomena handphone. Misalnya dalam lingkungan yang lebih kecil dalam ruang lingkup pelajar.

Tentunya, zaman sekarang anak-anak yang menggunakan handphone atau telephone genggam di kalangan remaja. Bahkan, anak usia 5 tahun pun sudah menggunakan handphone bermerek mahal. Sampai usia yang sudah tua pun masih ada yang menggunakan handphone,walaupun tidak begitu banyak yang kita temukan.

Saat ini, handphone pun dilengkapi dengan teknologi-teknologi yang sangat canggih. Kecanggihan itu pun bisa digunakan untuk anak yang berusia sekolah dasar.

Sebagai sebuah hasil limu pengetahuan handphone hadir dengan dua sisi yang berlawan. Maksudnya, ada dua dampak yang bisa di timbulkan oleh handphone.

Dampak positif menggunakan handphone bagi pelajar : mempermudah komunikasi, seperti ketika orang tua menjemput anak nya ketika pulang sekolah atau selesai melakukan kegiatan di sekolah. Menambah pengetahuan tentang perkembangan teknologi, karena bagaimanapun teknologi sudah merambat sampai ke pelosok-pelosok desa. Memperluas jaringan persahabatan, seperti mendapat banyak kenalan dimana-mana sampai di luar negeri.

Adapun dampak negatif menggunakan handphone bagi pelajar : Mengganggu perkembangan anak. Dengan canggihnya fitur-fitur yang tersedia di handphone seperti, kamera, permainan, akan mengganggu siswa dalam menerima pelajaran di sekolah. Tidak jarang mereka disibukan dengan menerima panggilan, sms,miscall dari teman. Lebih parah lagi ada yang menggunakan handphone untuk mencontek dalam ulangan atau ujian sekolah. Bermain handphone saat guru menjelaskan pelajaran dan sebagainya.

Kalau hal tersebut dibiarkan, maka generasi yang kita harapkan akan menjadi budak teknologi. Selain berbagai kontroversi di seputar dampak negatif penggunaanya, penggunan handphone juga berakibat buruk terhadap kesehatan, ada baiknya siswa lebih berhati-hati dan bijaksana dalam menggunakan atau memilih handphone, khususnya bagi pelajar anak-anak. Jika memang tidak terlalu diperlukan, sebaiknya anak-anak jangan dulu diberi kesempatan menggunakan handphone secara permanen. Rawan terhadap tindak kejahatan. Pelajar merupakan salah satu target utama daripada penjahat. Apalagi handphone merupakan perangkat yang mudah dijual, sehingga anak-anak yang menenteng handphone “ high end “ bisa di kuntit maling yang mengincar handphonenya. Sangat berpotensi mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Jika tidak ada kontrol dari guru dan orang tua. Handphone bisa digunakan untuk menyebarkan gambar-gambar yang mengandung unsur pornografi. Pemborosan.

Dengan mempunyai handphone, maka pengeluaran kita akan bertambah, apalagi kalau handphone nya hanya digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat maka hanya akan menjadi pemborosan saja. Menciptakan lingkungan pergaulan sosial yang tidak sehat. Ada keluarga yang tidak mampu, tetapi karena pergaulan dimana teman-temanya sudah dibelikan handphone sehingga mereka merengek-rengek kepada orang tuanya padahal orang tuanya tidak mampu.

Secara berangsur kehadiran handphonr akan membentuk sifat hedonisme pada anak. Ketika keluar gadget terbaru yang lebih canggih, mereka pun merengek-rengek meminta kepada orang tua, padahal mereka sebenarnya belum memahami benar manfaat setiap fitur-fitur baru secara menyeluruh.

Anak kita akan sulit diawasi, khususnya ketika masa-masa pubertas, disaat sudah muncul rasa ketertarikan dengan teman cowok atau cewek, maka handphone menjadi sarana bagi mereka untuk berkomunikasi, tetapi komunikasi yang tidak baik, hal ini akan mengganggu aktifitas yang seharusnya mereka lakukan, shalat, makan, belajar, bahkan tidur karena keasikan smsan dengan teman lawan jenisnya. Efek sampingan jari yang kebanyakan memencet tombol ketika smsan akan mengganggu syaraf-syaraf tertentu.

Handphone juga akan membuat syaraf-syaraf di otak kita,sedikit demi sedikit akan terputus. Saat kita tidur malam,usahakan handphone jangan di letakan disamping telinga kita atau di bawah bantal. Itu karena radiasi-radiasi saat handphone menyala akan membuat syaraf-syaraf di otak kita terganggu. Itulah contoh-contoh dari semua dampak yang telah kita ketahui.

Sikap para Ilmuwan

 

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat.

Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologis.

Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Apakah dipergunakan untuk tujuan yang buruk atau pengetahuan itu ditujukan kepada kebaikan.

Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo.

Sedangkan golongan kedua  sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.

Golongan kedua ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni :

  1. Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
  2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
  3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus genetika revolusi genetika dan teknik perubahan social (social engineering).

Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

Nuklir dan Pilihan Moral

           

            Pada tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika serikat, Franklin D. Roosevelt yang memuat rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom atom.

Dalam surat itu Einstein antara lain mengatakan, “Saya percaya bahwa merupakan kewajiaban saya untuk memberitahukan kepada Anda fakta-fakta dan rekomendasi sebagai berikut…”

“Saya mengetahui bahwa jerman telah menghentikan penjualan uranium dari Cekoslovakia yang telah diambil alih olehnya. Bahakan Jerman telah mengambil tindakan ini mungkin dapat dihubungkan dengan fakta bahwa Putra Menteri Muda luar Negri Jerman Von Weimsacker, ditugaskan pada institute Kaiser Wilhelm di Berlin di mana beberapa percobaan uranium yang telah dilakukan di Amerika serikat sedang dicoba kembali…”     

            Sekiranya, waktu itu Jerman tidak memperhatikan tanda-tanda untuk membuat bom, apakah Einstein akan bersedia menulis surat tersebut?

Pertanyaan ini sangat menraik dan menyentuh landasan moral yang fundamental.. Akhir-akhir ini masalah ini juga dihadapi oleh Presiden Carter mengenai pembuatan bom neutron.

Apakah Amerika Serikat akan melengkapio perlengkapan Arsenal persenjataan dengan bom neutron? Masalah yang dihadapi oleh Einstein dan Carter dalah sama namaun situasinya berbeda.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsanya sendiri.

Dalam hal ini sejrah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.

Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menayangkut kemanusiaan para ilmuawan tidak pernah bersikap netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka.

Pengetahuan merupakan kekuasaan. Kekuasaan yang dipakai demi kemaslahatan kemanusiaan. Masanlahnya sekarang adalah jika sekiranya seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang berbahaya menurut dia bagi kemanusiaan maka apakah yang harus dia lakukan?

Menghadapi masalah itu majalah Fortune mengadakan angket yang ditujukan kepada ilmuwan di Amerika Serikat. Angket itu mengemukakan pertanyaan apakah seorang ilmuwan harus menyembunyikan penemuan yang dianggap berbahaya atau dia mengemukakan saja penemuan tersebut dan mnyerahkan kepada moral kemanusiaan untuk kata akhir kegunaannya?

Angket tersebut menyimpulkan bahwa 78 persen ilmuwan di perguruaan tinggi. 81 persen ilmuwan di bidang pemerintahan, dan 78 persen ilmuwan di bidang industri  berkeyakinan bahwa seseorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuaan-penemuaan apaun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apaun juga yang akan menjadi konsekuensinya.1)

Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya bahwa ilmu pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjtnya.

Begitulah salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya.

Masih banyak lagi terdapat sendi-sendi lain yang menyangga peradapan manusia yang baik.. demekian pula manusia, masih terdapat kebenran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki.

           

III Kesimpulan dan Saran

 

Kalau saya boleh menggambarkan seperti titik koordinat pada matematika. Nilai 0 (nol) itulah ilmu atau sains. Dan hal ini terserah manusia mau digeser kemana nilai 0 (nol) itu, mau ke titik Negatif atau ke titik Positif. Itu semua terserah manusia yang menjadi konsumen ilmu yang telah ada.

            Dari wacana di atas sudah jelas nilai ilmu itu netral. Sehingga memudahkan dalam penelitian dan tidak akan tercampuri dari suatu hal apapun. Maksud dari Netral itu sendirikan, ilmu itu tidak bernilai baik atau buruk tetapi ilmu itu ada di antara keduanya.

Sesuai manusia yang membawa ilmu itu. Bagaimanakah menggunakannya? Untuk apa ilmu itu? Siapa yang memakai ilmu itu? Semua pertanyaan itu salah satu bukti kenetralan ilmu. Karena terserah manusia itu membawa ilmu itu sendiri, terserah manusia itu bagaimana menggunakannya, dan untuk apa ilmu yang dia dapat, dan siapapun orangnya ilmu tidak terpengaruh nilainya tetap netral ( nol ).

         Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku,        dan kebijakan  moral.
Bahwa ilmu dapat netral hanya pada aspek sains formal sedangkan pada sains empirik, ontologi, dan aksiologi sains tidak bisa netral. Objek ilmu, subjek ilmu, dan pengguna ilmu saling berkaitan. Ilmu dibangun oleh interpretasi ilmuwan yang didasari paradigma dan nilai diluar objek ilmu.

 

I Pendahuluan

 

1.1       Latar Belakang

Di zaman globalisasi ini yang pada hakikatnya hanya  ditopang oleh kemajuan informasi dan teknologi tentu hampir semua orang pasti memiliki alat komunikasi yang bernama handphone. Kalaupun tidak memiliki alat ini sukurangnya, mereka mengenal alat komunikasi yang tergolong canggih ini.

Dengan mengusung berbagai fitur kecanggihan dan bentuknya yang lebih kecil, paraktis kehadiran benda ini mulai menggesar alat-alat yang serupa fungsi semisal surat, telegram ataupun telepon rumah.

Perkembangan serta penyebarannya yang begitu luas menjadikan handphone tidak lagi hanya dimiliki orang-orang perkotaan yang barkantong tebal, tetapi juga sudah merambah ke pelosok desa. Demikian pula dengan harganya yang relatif terjangkau dari kalangan terbawah sekalipun menjadikan handphone sebagai salah salu alat wajib untuk berkomunikasi tiap keluarga.

Beberapa perkembangan yang menarik dari alat komunikasi yang satu ini adalah terletak pada fungsi dan manfaatnya bagi kehidupan dan kontribusinya bagi perkembangan peradapan. Handphone pada awalnya diciptakan guna mempermudah komunikasi antar individu yang memiliki keterbatasan waktu dan didesain guna menunjang mobilitas tiap indivudu  yang sangat tinggi.

Dengan bentuknya yang kecil dan mungil hingga memudahkan orang membawanya ke mana saja. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya. Perebutan pangsa pasar oleh produsen handphone menjadikan handphone ini ditawarkan dengan aneka harga dan rupa. Masing-masing produsen mengklaim bahwa produk handphonenya adalah produk handphone yang tercanggih dan termurah.

Alhasil, tidak mengherankan jika didapati  nyaris setiap orang tiap anggota keluarga memiliki handphone. Meski kepelikan handphone tidak lagi melihat kegunaan dan manfaatnya bagi mereka. Kadang hanya ingin memuaskan rasa gengsi belaka kalau.

Begitulah sejarah singkat tentang awal keberadaan handphone di Indonesia. Dan sebagai alat komunikasi yang canggih akibat hasi ilmu pengetahuan yang terus berkembang keberadaan handphone juga membawa dampak yang negatif.

Ambil contoh terkini, bagaimana bisnis pelacuran yang dikendalikan (mucikari) oleh seorang perempuan bernama Yunita alias keyko. Bisnis tersebut cukup menghebohkan. Di samping betapa menariknya apa yang dilakukan seorang wanita bernama Keyko. Melalui Blackberry-nya ia mengatur segala jenis transaksi esek-esek yang terhubung dengan mucikari di sejumlah kota yang sanggup menyediakan jasa PSK sesuai pesanan dengan tarif yang tergolong mahal.

Apa yang dilakukan Keyko dengan bisnis esek-eseknya melalui jaringan internet sesungguhnya membuka wacana baru bagi kita, bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk sesuatu yang merugikan peradaban.

Artinya, saat perkembangan peradaban yang terus tumbuh dan berkembang sedemikian pesat, pada nyatanya juga tak luput telah menghadirkan sebuah kerumitan dan  kompleksitas kehidupan yang beraneka ragam pula.

Perkembangan zaman yang kian cepat itu telah melahirkan bias kehidupan masyarakat yang begitu dinamis. Pada hierarki inilah sesungguhnya sebuah eksistensi sebuah ilmu pengetahuan patut dipertanyakan.

Memang pada dasarnya ilmu pengetahuan itu mempunyai manfaat yang amat besar bagi manusia karena dengan berpengetahuan manusia akan menjadi lebih mengerti. Pengetahuan yang diperoleh sedemikian itu pada umumnya telah memberikan jaminan akan kepastian yang lebih besar.

Dalam proses perjalanannya, perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu berbanding lurus dengan perkembangan zaman. Artinya, semakin berkembang zaman akan semakin berkembang pula ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, pada kenyataan yang lain, perkembangan ilmu pengetahuan pada era modern ini justru menjadi sebuah kegalauan tersendiri. Apakah perkembangan ilmu pengetahuan yang tercipta pada hakikatnya akan membawa kepada peradaban dunia yang lebih sejahtera dan damai atau dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu justru menjadi sesuatu yang bisa  merusak peradaban yang telah terbangun?

Dalam kajian ilmu filsafat bunyi pertanyaan tadi akan menjadi, “Netralkah sebuah Ilmu Pengetahuan itu?”

Berpijak pada fenomena Keyko yang memanfaatkan kemajuan teknogi dalam menjalankan bisnis mesumnya atau jika kita ingat pada peristiwa hancurnya menara kembar World Trade Center yang ambruk mengerikan. Kita pasti akan memvonis betapa berbahayanya kemajuan pengetahuan. Setidaknya tercatat pada peristiwa WTC itu diperkirakan 6000 jiwa melayang dan peristiwa ini dinilai lebih buruk dibanding penyerangan yang dilakukan oleh Jepang dalam peristiwa Pearl Harbour.

Berkaca pula pada kasus dan peristiwa di atas kiranya tak dapat dipungkiri bahwa ada penyalahgunaan teknologi tinggi yang memakan begitu banyak korban. Hingga hampir bisa di maknai, perkembangan teknologi sebagai hasil Ilmu Pengetahuan yang makin mengarah pada kesempurnaan dan hasil yang maksimal ternyata cenderung sangat membahayakan bagi kehidupan.

Keyko, dengan sebuah alat komunikasi mungil nan canggih telah berhasil mengelola ratusan PSK dengan luas area hampir se-nusantara Indonesia. Dari awal transaksi, fasilitas yang disediakan, konektivitas antar pengguna dan pelayan hingga pembiayaan. Semua proses bisnis tersebut cukup diatur dengan memencet keyped.

Pada sisi yang berbeda, dengan alat komunikasi yang serupa, masyarakat bisa menikmati kecepatan informasi dan perkembangan baru pada wilayah dan tempat yang berbeda.

Dari Fenomena Keyko itulah, setidaknya memberikan gambaran bagi kita bahwa sain itu sesungguhnya bersifat netral. Artinya, sain tidak pernah memihak pada kebaikan dan tidak juga memihak pada kejahatan. Dengan demikian, istilah netral dalam sain sering juga disebut dengan sain bebas nilai (value free).

Pada tataran ini, bila sain itu  kita anggap netral sisi keuntungan yang bisa diambil adalah cepatnya perkembangan dalam dimensi ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi seorang peneliti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang baru.

Prof. Dr. H. Wahyu, MS dalam Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian menuliskan, dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Apakah pengetahuan itu digunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan tidak akan mau tunduk kepada kaidah-kaidah yang lain selain dipegang sendiri dengan tujuan menjaga mutu dan integritas.

Bandingkan dengan lawan dari netral yaitu sain terikat, yakni sain yang terikat pada nilai. Bagi mereka yang berpandangan sain itu terikat nilai maka dalam penelitiannya terhadap ilmu pengetahuan akan dibatasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam peradapan. Di samping itu juga mereka mesti selektif terhadap objek penelitian sekaligus menggunakan hasil penelitian.

Menurut Darwin, tahap tertinggi dalam kebudayaan manusia adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.

Aksi keyko dalam menjalankan bisnis terlarangnya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan seperti ponsel sebenarnya juga membawa pesan kepada kita tentang manfaat teknologi.

 

1.2  Rumusan Masalah

 

Masalah yang akan diangkat dalam makalah ini adalah

  1. Bagaimana pandangan ilmu filsafat terhadap sains?
  2. Bagaimana kenetralan sebuah sains dalam perkembangan peradaban?
  3. Bagaimana sikap para ilmuwan dalam hubungannya dengan temuan dan peradaban?

1.3    Tujuan

 

1        Untuk mengetahui bagaimana pandangan ilmu filsafat terhadap sains

2        Untuk mengetahui bagaimana kenetralan sebuah sains dalam perkembangan peradaban

3        Untuk mengetahui bagaimana sikap para ilmuwan dalam hubungan temuan mereka dan peradaban?

 

.

1.4    Manfaat

 

  1. Mengetahui bagaimana pandangan ilmu filsafat terhadap sains
  2. Mengetahui bagaimana kenetralan sebuah sains dalam perkembangan peradaban
  3. Mengetahui bagaimana sikap para ilmuwan dalam hubungan temuan mereka dan peradaban?

II Pembahasan

 

Filsafat ilmu upakan merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah) Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai cirri-ciri tertentu.

Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:

Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antar objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

         Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri/ apa kreterianya? Cara/teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan ilmu pengetahuan yang berupa ilmu?

         Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaiadah moral moral. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma – norma moral/professional?

Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan ontologism ; kelompok yang kedua adalah epistemologis ; dan kelompok ketiga adalh aksiologis.

Ilmu dan Moral

 

Penalaran otak orang itu luar biasa, demekian kesimpulan ilmuawan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah…1) Pernyataan yang lugu ini, namun benar dan kena, sungguh menggelitik nurani kita.

Benrakahkah bahwa makin credas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran. Makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya; makin cerdas makin pandai kita berdusta.

Menyimak masalah ini, ada baiknya kita  memperhatikan imbauan Profesor Ace Partadiredja dalam pidato pngukuhan Beliau selaku Guru Besar Ilmu ekonomi UGM.

“Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradapan manusia sangat berutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya apakh ilmu selulu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa malapetaka dan kesengsaraan.

Jauh sebelum tragedy WTC dan kasus yang menewaskan  ratusan jiwa, sejak semula dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesame manusia dan menguasai manusia.

Pada pihak yang lain, perkembangan ilmu sering melupakan factor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Namun justru sebaliknya, manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. 2)

            Teknologi tidak lagi berfungsi sebagi sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri.

Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi yang merampas kebahgiaan dan kemanusiaannya.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia manusia itu sendiri. 3) Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagiamana  adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya : Untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuawan berpaling kepada hakikat moral.

Sebenarnya sejak saat pertumbuhan ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda.Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan dalam ajaran agama,  maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral.

Pertentangan ilmu dan moral yang diwakili oleh ajaran agama pada waktu itu di akhiri diputuskan oleh pengadilan agama waktu itu bahwa Galileo harus mencabut pernyataannya.

Pengadilan inkuisisi Galileo ini selam kurang lebih du setengah abad memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikannya nilai-nilainya sebagi penafsiran metafisik keilmuan.

Dalam kurun waktu ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan Ilmu yang Bebas Nilai.

Ilmu yang Bebas Nilai  

 

Wacana masalah netralisasi ilmu memang masih dalam perdebatan di kalangan masyarakat. Tetapi pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai Netral ( nol ), dengan ilmu itu netral maka perkembangan ilmu pengetahuan bisa berkembang. Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau itu sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya.

Sedangkan netral itu sendiri ada berbagai pandangan yang pertama dalam pandangan Ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Yang mempunyai ruang lingkup tentang baik buruknya ilmu yang telah ada.

Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkanya apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah.

Ketika seorang ahli jantung ingin meneliti tentang jantung manusia. Ada suatu kendala apabila Dokter ini meneliti jantung selain jantung manusia seperti jantung simpanse misalnya, tentu hasilnya berbeda apabila dokter itu menggunakan jantung manusia itu. Tetapi masalahnya ada beberapa yang tidak menyetujui hal ini, dikarenakan telah keluar dari rasa kemanusiaan.

Padahal tujuan awal agar data yang diperoleh valid dan lengkap, tetapi mereka salah memandang hal tersebut.

Sedangkan yang terakhir adalah netarisasi dalam pandangan Aksiologi. ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri. Seperti suatu hal yang sangat disesalkan oleh Albert Einsten, karena penemuannya tentang nuklir. Ternyata manusia sebagai pengkonsumsi dari hasil temuan ilmu itu telah menyimpang atau menyalahi aturan yang ada.

Padahal Einsten meneliti nuklir bukan karena dia ingin menggunakannya sebagai bom / perusak, tetapi sebaliknya yaitu untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tetapi manusia sendirilah yang telah salah menggunakan hasil pikiran Einstein itu.

Fenomena Kekinian atas Netralitas Ilmu

 

Bahkan contoh temudah yang bisa kita ambil adalah seperti yang saya uraikan pada latar di atas, yakni fenomena handphone. Misalnya dalam lingkungan yang lebih kecil dalam ruang lingkup pelajar.

Tentunya, zaman sekarang anak-anak yang menggunakan handphone atau telephone genggam di kalangan remaja. Bahkan, anak usia 5 tahun pun sudah menggunakan handphone bermerek mahal. Sampai usia yang sudah tua pun masih ada yang menggunakan handphone,walaupun tidak begitu banyak yang kita temukan.

Saat ini, handphone pun dilengkapi dengan teknologi-teknologi yang sangat canggih. Kecanggihan itu pun bisa digunakan untuk anak yang berusia sekolah dasar.

Sebagai sebuah hasil limu pengetahuan handphone hadir dengan dua sisi yang berlawan. Maksudnya, ada dua dampak yang bisa di timbulkan oleh handphone.

Dampak positif menggunakan handphone bagi pelajar : mempermudah komunikasi, seperti ketika orang tua menjemput anak nya ketika pulang sekolah atau selesai melakukan kegiatan di sekolah. Menambah pengetahuan tentang perkembangan teknologi, karena bagaimanapun teknologi sudah merambat sampai ke pelosok-pelosok desa. Memperluas jaringan persahabatan, seperti mendapat banyak kenalan dimana-mana sampai di luar negeri.

Adapun dampak negatif menggunakan handphone bagi pelajar : Mengganggu perkembangan anak. Dengan canggihnya fitur-fitur yang tersedia di handphone seperti, kamera, permainan, akan mengganggu siswa dalam menerima pelajaran di sekolah. Tidak jarang mereka disibukan dengan menerima panggilan, sms,miscall dari teman. Lebih parah lagi ada yang menggunakan handphone untuk mencontek dalam ulangan atau ujian sekolah. Bermain handphone saat guru menjelaskan pelajaran dan sebagainya.

Kalau hal tersebut dibiarkan, maka generasi yang kita harapkan akan menjadi budak teknologi. Selain berbagai kontroversi di seputar dampak negatif penggunaanya, penggunan handphone juga berakibat buruk terhadap kesehatan, ada baiknya siswa lebih berhati-hati dan bijaksana dalam menggunakan atau memilih handphone, khususnya bagi pelajar anak-anak. Jika memang tidak terlalu diperlukan, sebaiknya anak-anak jangan dulu diberi kesempatan menggunakan handphone secara permanen. Rawan terhadap tindak kejahatan. Pelajar merupakan salah satu target utama daripada penjahat. Apalagi handphone merupakan perangkat yang mudah dijual, sehingga anak-anak yang menenteng handphone “ high end “ bisa di kuntit maling yang mengincar handphonenya. Sangat berpotensi mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Jika tidak ada kontrol dari guru dan orang tua. Handphone bisa digunakan untuk menyebarkan gambar-gambar yang mengandung unsur pornografi. Pemborosan.

Dengan mempunyai handphone, maka pengeluaran kita akan bertambah, apalagi kalau handphone nya hanya digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat maka hanya akan menjadi pemborosan saja. Menciptakan lingkungan pergaulan sosial yang tidak sehat. Ada keluarga yang tidak mampu, tetapi karena pergaulan dimana teman-temanya sudah dibelikan handphone sehingga mereka merengek-rengek kepada orang tuanya padahal orang tuanya tidak mampu.

Secara berangsur kehadiran handphonr akan membentuk sifat hedonisme pada anak. Ketika keluar gadget terbaru yang lebih canggih, mereka pun merengek-rengek meminta kepada orang tua, padahal mereka sebenarnya belum memahami benar manfaat setiap fitur-fitur baru secara menyeluruh.

Anak kita akan sulit diawasi, khususnya ketika masa-masa pubertas, disaat sudah muncul rasa ketertarikan dengan teman cowok atau cewek, maka handphone menjadi sarana bagi mereka untuk berkomunikasi, tetapi komunikasi yang tidak baik, hal ini akan mengganggu aktifitas yang seharusnya mereka lakukan, shalat, makan, belajar, bahkan tidur karena keasikan smsan dengan teman lawan jenisnya. Efek sampingan jari yang kebanyakan memencet tombol ketika smsan akan mengganggu syaraf-syaraf tertentu.

Handphone juga akan membuat syaraf-syaraf di otak kita,sedikit demi sedikit akan terputus. Saat kita tidur malam,usahakan handphone jangan di letakan disamping telinga kita atau di bawah bantal. Itu karena radiasi-radiasi saat handphone menyala akan membuat syaraf-syaraf di otak kita terganggu. Itulah contoh-contoh dari semua dampak yang telah kita ketahui.

Sikap para Ilmuwan

 

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat.

Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologis.

Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Apakah dipergunakan untuk tujuan yang buruk atau pengetahuan itu ditujukan kepada kebaikan.

Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo.

Sedangkan golongan kedua  sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.

Golongan kedua ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni :

  1. Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
  2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
  3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus genetika revolusi genetika dan teknik perubahan social (social engineering).

Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

Nuklir dan Pilihan Moral

           

            Pada tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika serikat, Franklin D. Roosevelt yang memuat rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom atom.

Dalam surat itu Einstein antara lain mengatakan, “Saya percaya bahwa merupakan kewajiaban saya untuk memberitahukan kepada Anda fakta-fakta dan rekomendasi sebagai berikut…”

“Saya mengetahui bahwa jerman telah menghentikan penjualan uranium dari Cekoslovakia yang telah diambil alih olehnya. Bahakan Jerman telah mengambil tindakan ini mungkin dapat dihubungkan dengan fakta bahwa Putra Menteri Muda luar Negri Jerman Von Weimsacker, ditugaskan pada institute Kaiser Wilhelm di Berlin di mana beberapa percobaan uranium yang telah dilakukan di Amerika serikat sedang dicoba kembali…”     

            Sekiranya, waktu itu Jerman tidak memperhatikan tanda-tanda untuk membuat bom, apakah Einstein akan bersedia menulis surat tersebut?

Pertanyaan ini sangat menraik dan menyentuh landasan moral yang fundamental.. Akhir-akhir ini masalah ini juga dihadapi oleh Presiden Carter mengenai pembuatan bom neutron.

Apakah Amerika Serikat akan melengkapio perlengkapan Arsenal persenjataan dengan bom neutron? Masalah yang dihadapi oleh Einstein dan Carter dalah sama namaun situasinya berbeda.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsanya sendiri.

Dalam hal ini sejrah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.

Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menayangkut kemanusiaan para ilmuawan tidak pernah bersikap netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka.

Pengetahuan merupakan kekuasaan. Kekuasaan yang dipakai demi kemaslahatan kemanusiaan. Masanlahnya sekarang adalah jika sekiranya seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang berbahaya menurut dia bagi kemanusiaan maka apakah yang harus dia lakukan?

Menghadapi masalah itu majalah Fortune mengadakan angket yang ditujukan kepada ilmuwan di Amerika Serikat. Angket itu mengemukakan pertanyaan apakah seorang ilmuwan harus menyembunyikan penemuan yang dianggap berbahaya atau dia mengemukakan saja penemuan tersebut dan mnyerahkan kepada moral kemanusiaan untuk kata akhir kegunaannya?

Angket tersebut menyimpulkan bahwa 78 persen ilmuwan di perguruaan tinggi. 81 persen ilmuwan di bidang pemerintahan, dan 78 persen ilmuwan di bidang industri  berkeyakinan bahwa seseorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuaan-penemuaan apaun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apaun juga yang akan menjadi konsekuensinya.1)

Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya bahwa ilmu pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjtnya.

Begitulah salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya.

Masih banyak lagi terdapat sendi-sendi lain yang menyangga peradapan manusia yang baik.. demekian pula manusia, masih terdapat kebenran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki.

           

III Kesimpulan dan Saran

 

Kalau saya boleh menggambarkan seperti titik koordinat pada matematika. Nilai 0 (nol) itulah ilmu atau sains. Dan hal ini terserah manusia mau digeser kemana nilai 0 (nol) itu, mau ke titik Negatif atau ke titik Positif. Itu semua terserah manusia yang menjadi konsumen ilmu yang telah ada.

            Dari wacana di atas sudah jelas nilai ilmu itu netral. Sehingga memudahkan dalam penelitian dan tidak akan tercampuri dari suatu hal apapun. Maksud dari Netral itu sendirikan, ilmu itu tidak bernilai baik atau buruk tetapi ilmu itu ada di antara keduanya.

Sesuai manusia yang membawa ilmu itu. Bagaimanakah menggunakannya? Untuk apa ilmu itu? Siapa yang memakai ilmu itu? Semua pertanyaan itu salah satu bukti kenetralan ilmu. Karena terserah manusia itu membawa ilmu itu sendiri, terserah manusia itu bagaimana menggunakannya, dan untuk apa ilmu yang dia dapat, dan siapapun orangnya ilmu tidak terpengaruh nilainya tetap netral ( nol ).

         Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku,        dan kebijakan  moral.
Bahwa ilmu dapat netral hanya pada aspek sains formal sedangkan pada sains empirik, ontologi, dan aksiologi sains tidak bisa netral. Objek ilmu, subjek ilmu, dan pengguna ilmu saling berkaitan. Ilmu dibangun oleh interpretasi ilmuwan yang didasari paradigma dan nilai diluar objek ilmu.

Tinggalkan komentar